Poni

Poni
Zara dan Poni

Ini cerita tentang pertemuan gue dengan Poni.

Hari Jumat kemarin (1 Juni 2018), gue diajak untuk ikut acara bakti sosial yang diadain Hakuhodo Indonesia, kantornya tante gue. Bakti sosial kali ini dilaksanakan di Wisma Tuna Ganda, sebuah panti penyantunan di Jakarta Timur. Rekan-rekan Tante udah nyiapin banyak kardus sumbangan dari sponsor maupun hasil donasi dari sehari sebelumnya. Saat hari-H, tepatnya pukul 4 sore, barang-barang donasi itu di-pick-up dan dimasukkan ke mobil kantor, lalu kita semua berangkat dari kantor.

Di perjalanan gue bertanya-tanya, kira-kira apa yang bisa gue dapet dari kunjungan kali ini. Gue udah beberapa kali ikut bakti sosial dan semuanya berkesan, tapi ini baru kali kedua ngunjungin panti khusus penyandang disabilitas. Entah apa yang gue expect. Selama perjalanan gue cuma zikir dan yakin sepenuh hati bahwa hari ini bakal jadi hari yang penuh kesan, yang ternyata benar adanya.

Sesampainya di sana ternyata sudah ada beberapa rekan lain yang stand by dan ada juga yang datang menyusul. Pantinya cukup besar, ada tempat parkir yang memadai, dan lokasinya persis di pinggir jalan raya. Dari luar gue bisa liat panti ini punya beberapa lantai. Di dalam, sudah tersedia meja dan kursi yang ditata sedemikian rupa untuk acara buka puasa bersama nanti. Barang-barang donasi dikeluarkan dari mobil, kardus makanan juga dibukakan dan makanannya dibagikan di setiap meja.

Di sinilah gue ketemu sama Poni, salah satu anak panti yang sangat periang, umurnya 16 tahun. Setiap orang yang datang dia salamin, peluk, dan cium pipi kanan-kiri. Dari awal acara, dia nempel mulu sama gue. Seneng banget. We also took pictures together, yang difotoin Tante, karena Poni meluk gue terus. Sambil nungguin rekan yang lain dateng, Mami, ibu panti (menurut gue sih, dia head-nya), ngajakin jalan-jalan keliling panti. Dengan semangat, Poni ngegandeng tangan gue dan kami berdua jalan di paling depan barisan. Selain Poni, Yunas (26 tahun) juga menemani kami semua keliling panti.

Wisma Tuna Ganda
Keliling panti

Pantinya luas, bersih, dan fasilitasnya lumayan lengkap. Mami juga bilang kalau panti ini termasuk salah satu panti yang fasilitasnya sudah memenuhi standar. Syukurlah. Ada ruang terapi untuk anak-anak panti belajar berdiri dan melatih otot mereka, ada kelas, dan ruang perawatannya juga cukup nyaman walau sederhana. Mami cerita kalau Wisma Tuna Ganda ini menangani 30 orang, diantaranya diantar oleh orang tua ke tempat ini, ada juga yang ‘dioper’ dari panti sosial lain. Setelah ‘ditampung’ di sini, jarang sekali ada orang tua yang mengambil kembali anak mereka, rata-rata anak yang ada di sini meninggal pula di tempat yang sama, sampai sekarang sudah ada lebih dari 100 anak yang meninggal di panti ini. Mengenai orang tua yang ‘ninggalin’ anaknya bikin gue mikir. Memang sebagian besar dari mereka lahir dari keluarga menengah ke bawah yang hidupnya bisa dibilang miris. Menurut gue, membawa anak mereka ke sini dan ngasih kepercayaan panti buat rawat anak-anaknya bisa dibilang keputusan yang tepat dengan syarat harus ada tanggung jawab mereka sebagai orang tua. Sayangnya, seperti yang gue bilang tadi, sebagian besar orang tua mereka sudah hilang entah di mana. Anak-anak ini gak ada yang nengokin lagi, mereka bahkan udah lupa sama sosok orang tuanya sendiri. Itu yang bikin gue sedih. Tapi di balik itu, gue bener-bener bersyukur mereka masih dapet kesempatan tinggal di panti penuh kasih sayang ini, hidup mereka jadi jauh lebih baik di sini.

Poni ngajak gue dan rombongan untuk mengunjungi teman-temannya. Sekitar 80% dari anak yang dirawat hanya bisa tergeletak di kasurnya. Poni, Yunas, Yayu, dan beberapa orang yang lain hanya merupakan sebagian kecil yang disebut Mandiri. Mandiri di sini artinya sudah bisa mengurus keperluan untuk dirinya sendiri walaupun cara berkomunikasi mereka tidak selancar orang biasanya. Di setiap kasur terpampang identitas anak-anaknya, mulai dari nama, tanggal lahir, tanggal diterima di panti, dan cacat yang dideritanya. Gue baru sadar tempat ini disebut Wisma Tuna Ganda karena cacat yang diderita anak-anak ini gak cuma satu, cacatnya berat, bisa lebih dari empat, dan mereka semua mendapatkannya dari lahir, kecuali satu anak yang tiba di sini karena kecelakaan. Ya, Allah. Gue mikirin Mami dan pengasuh-pengasuh di sini, pasti mereka semua tabah banget. Sebenernya kurang pas sih, kalau gue bilang ‘anak-anak’, karena Mami menampung ‘pasien’ dari tiga sampai lima puluh tahun. Tapi gue bingung bilangnya apa, karena sebagian besar memang masih anak-anak.

Karakter dan latar belakang orang-orang yang dirawat di sini berbeda. Ada yang kebiasaannya unik, seperti online shopping, main puzzle ribuan keping, dan beberapa juga suka iseng. Ada yang tangannya terikat kain di kasur. Gue nanya ke Poni, Poni ngejelasin dengan gerakan tubuhnya bahwa anak ini sering mukul kepala dan matanya sendiri. Ada juga yang muntah setiap ngeliat balon dan kerudung. “Ooh,” hanya itu tanggapan gue. Banyak hal yang menurut mereka udah biasa terjadi di sini, tapi tidak di keseharian gue. Tanpa nanya lebih jauh, gue memutuskan untuk menelan penjelasan Poni tentang mereka bulat-bulat. Poni sendiri suka belajar huruf, dia bilang sendiri saat kami ke kelas dia. Poni ngasih tau tempat duduknya untuk belajar di kelas, ada tulisannya ‘Sarah/Poni’. Oh, ternyata nama asli dia Sarah, tapi di panti dipanggil Poni atau Popon.

Yunas
Yunas suka main puzzle

Ada beberapa momen di mana gue pengen nangis ngeliat kondisi mereka tapi gue tahan. Malu sama Poni. Gue juga notice sesuatu saat Poni ngajak gue ke salah satu kasur, di atasnya ada anak kecil lagi tidur, dan dia mulai keliatan nangis tapi ditahan dan malah senyum ke gue. Anak kecil itu namanya Raihan. Setelah denger ceritanya Mami, gue baru tau kalau Raihan itu adiknya Poni yang berumur enam tahun. Sepertinya Poni sayang banget sama adiknya.

Setelah berkeliling, acaranya dimulai. Gue lupa rangkaian acaranya apa aja, tapi pertama-tama ada sambutan, lalu ada ceremony penerimaan sumbangan. Nah, setelah itu, giliran Mami bercerita. Kalau tidak salah dengar, Mami ini seorang psikolog. Dia bercerita tentang pekerjaannya yang katanya aneh, ngobrol doang tapi dikasih amplop (uang). Dia juga bercerita tentang berdirinya Wisma Tuna Ganda yang dikelola oleh sebuah keluarga secara turun-temurun selama puluhan tahun. Anak-anak yang kami lihat sekarang, dulu kondisinya tidak sebaik ini saat pertama kali tiba, katanya. Banyak yang kurang gizi dan cacingan. Berkat kerja sama pengurus dan pengasuh kondisi mereka ada perkembangan yang lebih baik. Donasi juga tidak pernah kekurangan. Alhamdulillah. Gue seneng banget saat sadar masih banyak orang yang peduli sama keadaan mereka. Sepanjang Mami cerita gue masih nahan-nahan nangis, iya cengeng.

Gue nanya ke Mami soal Poni. Awalnya gue cuma nanya umurnya berapa, tapi Mami mulai cerita semua tentang Poni, kayaknya Mami bisa ngerti raut muka gue yang penasaran. Gini ceritanya. Seluruh saudara Poni adalah penyandang disabilitas, dirinya sendiri menyandang mental retardasi. Ibunya telah meninggal, ia tinggal bersama bapaknya yang merupakan seorang pemulung. Setiap hari Poni merawat Raihan sendiri. Dulu, Raihan yang dibawa ke panti duluan, Poni masih tinggal bersama bapaknya. Februari lalu, bapaknya meninggal karena gantung diri di depan Poni. Sebelumnya, Poni sudah melihat tanda-tanda bapaknya yang ingin bunuh diri. Ia melapor ke tetangganya, bilang kalau bapaknya “naik dan berdiri”. Sayangnya, tidak ada yang mengerti kode dari Poni hingga aksi tersebut dilakukan. Poni diantar oleh tetangganya ke panti untuk diasuh setelah bapaknya telah tiada.

“Untung Poni nggak ngerti apa-apa. Setiap ditanya bapaknya ke mana dia selalu jawab ‘kerja’, ‘mulung’, atau nggak ‘tidur’. Saya ceritain tentang bapaknya gantung diri dianya malah senyum-senyum, tuh liat. Kalau dia ngerti, mungkin dia udah depresi seumur hidup,” ujar Mami. Memang benar adanya.

Mami juga tak pernah berpikir panjang untuk menyebut kata ‘cacat’ saat bercerita ketika ada anak-anak asuhannya di sekitarnya. Gue sendiri kaget. Dulu gue diedukasi para SJW Tumblr buat gak menyebut kata-kata itu sama sekali karena termasuk ableist dan offensive. Mungkin either anak-anak itu gak ngerti atau memang udah menerima keadaan mereka. Yang gue dapet dari cara Mami ngomong adalah cacat itu bukan candaan namun memang nyata adanya di society kita dan bukan sesuatu yang harus disembunyiin. Namun, kurang pantas jika kata itu diberikan kepada yang sebenarnya tidak menderitanya.

Di awal tadi gue bilang pernah ikut kunjungan semacam ini juga. Pertama kali itu ke Yayasan Santi Rama, pas SD. Gue ngerasain banyak perbedaan di kunjungan kali ini karena dulu gue ke YSR pas masih bocah. Dulu, di pikiran gue itu, penyandang disabilitas adalah orang-orang yang kurang beruntung. Gue ‘disuruh’ merasa iba dengan keadaan mereka agar gue bisa lebih bersyukur. Gue dan teman-teman ngerasain takut pas ketemu mereka karena mereka ‘beda’. Fieldtrip itu cukup membuat gue lebih terbuka sih, tapi ya maklum masih bocah belum ngerti apa-apa, cuma bisa memproses apa yang dilihat saat itu aja. Sekarang di umur gue yang udah semi-bocah, gue ngerasain lebih banyak manfaat yang bisa diambil dari kunjungan yang sekarang. Gue lebih meng-accept keberadaan mereka di society. Sisi kehidupan yang seperti ini terasa lebih nyata. Kekurangan yang mereka miliki itu bukan semata-mata karena ‘kurang beruntung’, tapi bisa dibilang bentuk rahmat Tuhan untuk dirinya dan orang lain. Gue percaya Allah sayang banget sama mereka, that’s why. Mungkin kalau bukan begini adanya gue gak bakal notice ada orang-orang hebat kayak mereka. Mami dan teman-temannya juga gak akan mendedikasikan hidupnya untuk merawat mereka layaknya keluarga sendiri. Ya, kan?

Di akhir acara Mami berpesan untuk kami semua, manfaatin rahmat yang diberikan Tuhan ke kita semaksimal mungkin. Setelah menjalani apa yang dilakukan Mami selama ini, Beliau ngerasa rezeki itu dateng bahkan dengan cara yang gak logis sekalipun. Jangan pernah takut merugi karena orang-orang yang kita bantu dan muliakan di dunia bisa meringankan urusan kita di akhirat nanti. Sesudah ini gue makin gak rela kalau selama liburan gue isi dengan mantengin Twitter seharian, padahal gue mampu ngelakuin hal yang bermanfaat minimal buat diri sendiri.

Gue udah merasa attached sama sebagian besar dari mereka, terutama Mami dan Poni, walaupun baru beberapa jam bareng. Gue salut sama mereka. Semoga semuanya di Wisma Tuna Ganda sehat terus. Terima kasih juga buat Tante yang ngirimin semua foto di atas. Gue gak pegang HP sama sekali, sibuk main sama Poni.

Bagi kalian yang mau berbagi kebahagiaan bersama Wisma Tuna Ganda, bisa langsung mengunjungi mereka di:

WISMA TUNA GANDA

Jalan Raya Bogor, Pekayon, Ps. Rebo, Jakarta Timur, DKI Jakarta 13710.

Ajak gue juga boleh. Udah kangen sama Poni. Hehe.

 

Leave a comment